Home » » Antara Nasionalisme dan Pajak Lapak Dagangan Online

Antara Nasionalisme dan Pajak Lapak Dagangan Online

Tantangan Aplikasi dan Konten Lokal di Era Digital



Mengkampanyekan nasionalisme dan kedaulatan digital di tengah-tengah pasar bebas aplikasi mobile sekarang ini adalah usaha menjaring angin: sia-sia belaka. Ide nasionalisme atau kedaulatan digital tak relevan jika tak diimbangi kualitas produk aplikasi lokal yang mumpuni dan mampu menjawab kebutuhan pengguna.

Bagaimana bisa, misalnya, kita berkampanye agar orang meninggalkan Facebook dan Twitter, sembari menyuguhkan jejaring sosial buatan anak negeri yang kualitasnya jauh sekali dibanding kedua raksasa itu? Dari sisi lain, penciptaan ekosistem yang kondusif bagi kerja keras pengembang aplikasi lokal sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah.

Demikian intisari diskusi IT Buzz bertajuk "Pengembangan Aplikasi dan Konten Lokal, Kamis (12/9), yang diselenggarakan IT Media Gramedia Majalah, Klik Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (Kemenparekraf) di Hotel Sultan, Jakarta.

"Saya pikir kita tak bisa menang hanya dengan mengangkat kebanggan nasional," kata CEO Tokopedia William Tanuwijaya. "Kita sudah bicara soal kualitas. Kualitas konten lokal tak kalah bersaing dengan aplikasi luar, sehingga tak hanya menjadi tuan rumah di negara sendiri tetapi bisa ekspansi global, Asia Tenggara."

Menurut William, salah satu kendala terbesar bagi perusahaan rintisan digital di Indonesia adalah akses modal. Ketika membangun Tokopedia sekitar 4 tahun lalu, William mengaku tak ada investor dalam negeri yang mau menanamkan modal.

Mereka tak berminat karena selalu menginginkan return dalam waktu singkat. Padahal, investasi di bidang virtual, apalagi toko jual beli daring semacam Tokopedia, tak bisa menghasilkan untung dalam jangka pendek. Tengok saja Kaskus, yang setidaknya membutuhkan waktu 10 tahun agar bisa di-monetize secara bertahap.



Selain itu, perusahaan rintisan juga kesulitan merekrut karyawan brilian karena imajinasi orang-orang pintar lulusan kampus terkenal di Indonesia adalah bekerja di Multinational Company. Mereka lebih suka mencari perusahaan mapan.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Amerika Serikat, di mana orang bisa menggalang dana sejak masih duduk di bangku kuliah. Hasilnya, muncullah perusahaan yang memberikan layanan secara gratis, yang sekarang berubah menjadi raksasa, seperti Google, Microsoft, Yahoo, Facebook dan lain-lain. Dukungan modal tersebut juga membuat mereka bisa merekrut sumber daya manusia paling brilian dari seantero dunia.

Sementara itu, Danny Oei Wirianto dari MindTalk, jejaring sosial berbendera Indonesia, mengkritik lemahnya kebijakan pemerintah terhadap perusahaan teknologi asing. Perusahaan asing dengan sangat leluasa melakukan aktivitas di negara ini, mengeruk jutaan dollar dari transaksi daring. Ini terasa tak adil karena di sisi lain, pemerintah terkesan -dalam bahasa Danny-- "ngeribetin" perusahaan lokal.

"Google dan Facebook transaksi di Indonesia tanpa bayar pajak, Agoda juga melakukan itu," katanya.

Walaupun demikian, seluruh pengusaha di bidang digital yang hadir hari itu tak setuju jika pemerintah berubah menjadi sangat protektif, seperti pengalaman Cina. Digital Group Director Kompas Gramedia Edi Taslim mengatakan, yang dibutuhkan pengembang lokal adalah keadilan. "Jangan mekanisme pasar saja," katanya.

Dukungan lain yang bisa diberikan pemerintah adalah pemberian tax holiday, atau kebijakan strategis yang nyata dampaknya dalam jangka panjang. Pemerintah tak bisa hanya seperti event organizer yang rajin menggelar lomba, tetapi sesudah itu, pemenang dibiarkan bertarung dan mati sendiri melawan raksasa-raksasa di pasar.

Selain pemerintah, sektor swasta, terutama operator telekomunikasi, juga berperan sangat penting dalam memajukan pengembang lokal. Meskipun sebagian besar modalnya sudah dimiliki asing, Indosat, misalnya, sudah merintis upaya ini dengan mendirikan inkubator bisnis. Para pengembang potensial dirangkul melalui kompetisi Indosat Wireless Innovation Application Contest (IWIC) yang digelar setiap setahun. Dukungan lain yang juga bisa dilakukan operator adalah dengan menginjeksi perangkat telekomunikasi dengan beberapa aplikasi lokal.

Melalui Forum IT Buzz yang rencanana akan digelar secara rutin ini, IT Media Kompas Gramedia berharap pelaku-pelaku industri digital dan pemerintah bisa bekerja sama untuk memajukan Indonesia.

"Sudah banyak contoh aplikasi dan konten kita yang mendunia, namun dibutuhkan lebih banyak lagi untuk bisa mengimbangi konsumsi layanan aplikasi dan bandwidth yang notabene dikuasai oleh ekonomi asing," ujar Muhammad Arief Adriyanto, Deputy General Manager IT Media, Kompas Gramedia.

http://www.chip.co.id/news/events_co...di_era_digital



Pemerintah didorong fasilitasi industri konten lokal

Pemerintah didorong mendukung dan memberi kesempatan kepada produk lokal untuk berkembang dengan memberikan fasilitas pemasaran dan insentif regulasi.

Calvin Kizana, Founder PicMix, mengatakan memang sudah sejak dulu, Indonesia ini hanya menjadi tempat konsumsi produk asing.

"Perilaku konsumen di indonesia ini memang tidak mudah untuk diubah mengingat sudah sejak dulu produk-produk asing merajai dan mengakar di Indonesia, mulai dari produk fashion, electronic, film, music sampai produk-produk IT," katanya.

Menurut dia, banyak produk lokal yang tidak kalah dengan buatan luar negeri, namun yang saya pribadi lihat adalah kurangnya diberi kesempatan untuk produk-produk lokal ini.

Harapan Calvin adalah pemerintah juga bisa turut mensupport produk-produk lokal dan diberikan kesempatan yang lebih besar, agar produk-produk tersebut bisa semakin berkembang.

Namun, tentunya para developer produk IT di Indonesia ini pun harus berbenah dan meningkatkan kualitas dari produknya agar bisa disejajarkan dengan produk asing.

"Contoh nyata di PicMix, boleh dibilang tidak ada yang percaya bahwa PicMix ini adalah buatan asli Indonesia. Ini menandakan kualitas dari produk lokal pun sudah semakin baik," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Indonesian Mobile and Content Association, Haryawirasma, mengungkapkan industri konten lokal seperti games sebetulnya tak kalah dengan konten asing, seperti social networking yang saat ini menguasai bandwidth terbesar konten Internet.

Hanya saja, tambah Haryawirasma yang akrab dipanggil Rasmo, terbentur dengan adanya permodalan, infrastruktur, dan regulasi yang harus memaksa pengembang konten lokal mundur, bahkan di tingkat nasional sekalipun.

Selain itu, tambah Rasmo, operator juga dirasa kurang mendukung perkembangan konten lokal. Hal itu dibuktikan dengan pembelian kartu perdana yang hanya memberikan bonus konten asing, seperti Facebook gratis, Twitter gratis, dan lainnya.

http://www.merdeka.com/teknologi/pem...ten-lokal.html


Kesiapan Indonesia Menghadapi Rencana Pajak E-Commerce



Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bakal segera memberlakukan pajak bagi toko online. Seperti dikutip dari Kontan, nantinya setiap transaksi online akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dari nilai jual. Rencana ini sudah disampaikan oleh pihak Ditjen Pajak dalam pertemuan dengan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Ini merupakan langkah lanjutan Ditjen Pajak menggenjot pendapatan negara, setelah sebelumnya juga menarget sektor Usaha Kecil Menengah (UKM, yang bernilai 1%) dan pengusaha properti.

Pemberlakuannya tidak serta merta dilakukan dalam waktu dekat â€" setidaknya tidak tahun ini. Saat ini mekanismenya masih menjadi kajian. Pihak Ditjen Pajak bakal menggelar pertemuan dengan semua penyelenggara belanja online, baik perusahaan maupun individu, agar mereka mau memungut PPN 10% dari setiap transaksinya.

Di Amerika Serikat sendiri sebagai perbandingan, di mana pasar belanja online sudah mencapai tingkat kematangannya, sejumlah negara bagian bakal mulai memungut pajak per tanggal 1 Juli ini. Di sana, pajak transaksi online tidak hanya mencakup barang-barang yang bersifat fisik, tetapi juga yang bersifat maya seperti pengunduhan aplikasi, lagu, film atau permainan.

Di negeri Paman Sam, transaksi belanja melalui Internet, per tahun 2010, sudah mencapai 16% dari total transaksi secara keseluruhan dan seharusnya persentasenya terus meningkat. Sedangkan di Indonesia masih belum ada data serupa untuk hal yang sama menurut wakil presiden Ideosource Andrias Ekoyuono. Ideosource saat ini menaungi beberapa perusahan UKM e-commerce seperti Everindo, Saqina, dan PasarMinggu.co.

Indonesia sendiri bisa dibilang masih hijau soal urusan belanja online. Persentasenya terbilang masih sangat kecil dibandingkan total penjualan ritel secara keseluruhan. Pemberlakuan pajak terhadap transaksi online di saat masyarakat sedang dalam fase transformasi cenderung membuatnya menjadi kontra produktif. Di Amerika Serikat sendiri, pemerintah federal sempat memberlakukan Internet Tax Freedom Act (ITFA) di tahun 1998 untuk mendorong suburnya bisnis-bisnis e-commerce dan baru mulai memberlakukan pajak (tidak secara keseluruhan) setelah 15 tahun.

Menurut Andrias, “Sebenarnya wajar bisa e-commerce dilirik sebagai sumber pajak bagi negara. Namun jangan sampai malah mempersulit pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Diterapkannya PPh untuk UKM 1% dari omset untuk usaha dengan omset sampai Rp 4.8 milyar memang bisa memberatkan e-commerce kecil yang banyak digeluti masyarakat”.

Pemberlakuan pajak untuk transaksi online membutuhkan dua sarana pendukung yang sangat penting. Hal yang pertama adalah arsitektur perbankan dan moneter yang sudah mencakup dan melakukan tracking segala bentuk transaksi, termasuk secara online, baik menggunakan metode pembayaran debit, kredit maupun transaksi antar bank.

Di Indonesia sendiri, arsitektur seperti ini disebut National Payment Gateway yang oleh Bank Indonesia ingin digolkan per tahun ini. Salah satu usaha yang telah dilakukan adalah adanya dimulainya koneksi antara penyedia layanan transaksi antar bank, seperti ATM Bersama, Prima dan Artajasa.

Namun hingga kini masih belum ada kejelasan apakah jalur pembayaran nasional ini tetap akan diterapkan pada tahun ini atau diundur, mengingat tahun 2013 tersisa kurang dari enam bulan lagi dan belum ada kabar atau sosialisasi lebih jauh mengenai program tersebut.

Hal kedua adalah kewajiban (dalam bentuk peraturan) pembentukan badan hukum bagi setiap penyelenggara usaha e-commerce untuk memudahkan urusan pelaporan perpajakan. Badan hukum ini bisa bersifat PT atau adanya suatu bentuk badan hukum baru yang lebih fleksibel seperti LLC di Amerika Serikat. Dengan badan usaha seperti LLC, dengan segala keunggulan dan kekurangannya, kami rasa bisa menjadi model badan hukum yang cocok untuk usaha kecil dan menengah, baik yang bersifat online maupun offline.

Jika kedua sarana pendukung ini belum berlaku dengan baik, tidaklah bijaksana untuk mem-bypass-nya dan langsung mengarah ke pemberlakuan pajak. Dengan posisi e-commerce yang sebenarnya belum signifikan terhadap total penjualan ritel di Indonesia, pajak justru menjadi disinsentif bagi pertumbuhan industri ini sendiri.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi terhadap transaksi yang banyak dilakukan oleh perorangan, seperti untuk barang bekas, maupun melalui iklan baris yang transaksinya secara efektif tidak terjadi di situs yang bersangkutan?

Situs seperti Tokobagus, Berniaga, Kaskus FJB, maupun mailing list dan jejaring sosial seperti BlackBerry Messenger, Facebook, dan Twitter, merupakan perangkat pendukung transaksi yang tidak memungut biaya terkait. Pembayaran pada transaksi-transaksi tersebut sering dilakukan melalui transfer antar bank, melalui ATM, ataupun tunai, dan tidak menggunakan invoice atau bukti resmi. Dengan kata lain, transaksi tradisional yang kebetulan menggunakan jalur online sebagai media iklan.

“Problem utamanya bukan di besaran pajak tapi implementasinya, bagaimana mekanisme penagihannya, karena kan mesti ada faktur pajak dan lain lain”, tutur Andrias.

Belum lagi adanya perbedaan perlakuan terhadap jenis pajak yang dikenakan kepada berbagai macam transaksi. Untuk e-commerce, pajak yang dikenakan bisa berbeda jumlahnya tergantung jenis transaksinya apakah transaksi tersebut melibatkan produk yang berasal dari luar negeri untuk konsumsi lokal, produk lokal untuk konsumsi luar negeri, maupun produk lokal untuk konsumsi lokal.

Suatu saat, pemberlakuan pajak untuk transaksi online tidak akan terelakkan. Meskipun demikian, tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapai state tersebut seharusnya dilalui secara perlahan untuk memastikan kematangannya dan keoptimalan pencapaian pendapatan bagi pemerintah di kemudian harinya.

http://dailysocial.net/post/pajak-e-commerce



Pendapat salah satu mastah di dunia e-commerce:



Ya pemerintah bagus sih mau mengkampanyekan mencintai layanan dan konten buatan lokal, tapi hal ini belum didukung dengan ekosistem yang bagus.

Mahasiswa yang jago n pinter, sedikit yang mau ikutan membangun startup lokal. Mayoritas operator kasih banyak promosi untuk jejaring social ngetop tapi ga melirik bundling promo untuk situs-situs top dalam negeri kayak Kaskus. Permodalan juga susah diakses sama startup lokal.

Kalo di Vietnam, pemerintahnya melarang instant mesenger kayak Line, WhatsApp, dkk. Karena bisa menyebabkan operator lokal rugi berat. Itu cara mereka melindungi industri telekomunikasi dalam negeri.

BTW, apakah agan setuju kalo dagangan agan di FJB dipajakin sama pemerintah sementara para online store raksasa dengan markas di luar negeri enggak kena pajak?



Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/5239910ba4cb172e3e00000b

Hosting

Hosting
Hosting

TryOut AAMAI

Hosting Idwebhost

Hosting Idwebhost
Hosting Handal Indonesia

Belajar Matematika SD

Popular Posts

Arsip Kaskus HT

 
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger