Jumat, 19 Juli 2013 20:03 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Besarnya biaya kampanye saat pemilihan kepala daerah menjadi pemicu terjadinya korupsi besar-besaran di daerah.
Menurut data hasil kajian Indonesia Public Institute (IPI), biaya kampanye calon kepala daerah untuk tingkat kabupaten mencapai Rp 5 miliar. Sementara untuk tingkat provinsi bisa mencapai Rp 100 miliar. "Biaya politik pasangan calon disesuaikan dengam besarnya APBD (Anggatan Pendapatan dan Belanja Daerah), PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan sumber daya alam. Semakin daerah itu besar, biaya politik semakin besar," kata Karyono Wibowo, peneliti senior IPI, saat Diskusi Publik dengan tema 'Memberantas Korupsi di Daerah, Tantangan dan Hambatan' di Warung Bumbu Desa, Jakarta, Jumat (19/7/2013).
Hingga Juli 2013, 298 kepala daerah dari 524 total jumlah kepala daerah di Indonesia tersangkut masalah korupsi. Baik sebagai saksi, tersangka terdakwa atau terpidana koripsi. Para kepala daerah paling banyak beramai-ramai terlibat dalam korupsi APBD yakni pengadaan barang dan jasa.
Karyono menegaskan harus dibuat aturan yang tegas yakni pengetatan biaya kampanye untuk menekan upaya balik modal para kepala daerah tersebut. "Perlu ada aturan tegak. Fungsi-fungsi pengawasan di daerah, pengawasan pusat juga. UU pembatasan dana kampanye paling tinggi Rp 5 miliar," tegas dia.
http://www.tribunnews.com/nasional/2...angkut-korupsi
Sample: Dua Gubernur yang Divonis Pengadilan karena Korupsi ...
Quote:Vonis MA Akhiri Jabatan Gubernur Non Aktif, Syamsul Arifin Segera Diberhentikan
Medan-ORBIT: Vonis enam tahun Mahkamah Agung (MA) terhadap Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) non aktif Syamsul Arifin (foto) berujung pahit. Informasi dikumpulkan Harian Orbit, hingga Minggu (6/5), diketahui pemberhentian Syamsul dari jabatan Gubsu segera diusul. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek, usulan ini setelah keputusan MA terkait vonis Syamsul Arifin yang dinilai sudah berkekuatan hukum tetap. Menurut dia, hal ini sama seperti kasus yang menimpa mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin yang April lalu diberhentikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). âApa bedanya dengan Agusrin Najamuddin? Kan kita berhentikan,â kata Donny sapaan akrab- Reydonnyzar Moenek.
http://www.harianorbit.com/vonis-ma-...diberhentikan/
Kejagung: Vonis Gubernur Bengkulu Kewenangan Pengadilan
Minggu, 5 Juni 2011 20:29 WIB
Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin tiba di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (30/12/2009), memenuhi panggilan tim penyidik untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merugikan negara Rp 21 miliar.
http://www.tribunnews.com/nasional/2...gan-pengadilan
REFORMASI BIROKRASI
LAN Dukung Lelang Jabatan
Rabu, 17 Juli 2013
JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Administrasi Negara (LAN) mendukung langkah instansi pemerintah yang menggunakan promosi jabatan secara terbuka melalui mekanisme lelang jabatan. Selain dapat mendorong adanya mobilitas pegawai, promosi jabatan melalui lelang jabatan dianggap mampu mencegah terjadinya politisasi birokrasi. "LAN mendorong supaya manajemen kepegawaian yang dilakukan pemerintah dilakukan dengan berdasarkan pada prinsip-pinsip meritokrasi," kata Kepala LAN Agus Dwiyanto kepada wartawan disela acara diskusi tentang implementasi kebijakan standar pelayanan minimal yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN, di Jakarta, Selasa (16/7).
Menurut dia, pada prinsipnya lelang jabatan itu mampu meningkatkan kinerja birokrasi dan menghindari promosi jabatan secara tidak sehat. "Kita bisa lihat di salah satu kabupaten tertentu, begitu pergantian kepala daerah, bisanya terjadi pergantian para pejabat daerah disitu secara masif karena mungkin dianggap bukan merupakan tim sukses," ujarnya. Seperti diketahui, pola lelang jabatan dilakukan oleh sejumlah instansi pemerintah, salah satunya adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Bahkan sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) juga menerapkan lelang jabatan pada pengisian jabatan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kepala LAN. "LAN lebih dulu melakukannya sebelum Pak Jokowi melakukannya, bahkan disini (LAN-Red), eselon I yang masih menjabat akan kita dorong untuk ikut uji kompentensi untuk mengetahui apakah yang bersangkutan adalah orang yang tepat duduk di jabatannya atau menduduki jabatan lain yang lebih tepat," katanya.
Sementara itu dalam diskusi tentang implementasi kebijakan standar pelayanan minimal (SPM) yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah- LAN, disebutkan bahwa SPM merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhaap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik
http://www.suarakarya-online.com/new...html?id=330729
Pemerintah Pusat Tiru Lelang Jabatan Jokowi
Rabu, 15 Mei 2013 | 18:46
Jakarta - Pemerintah pusat meniru langkah Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dalam melakukan metode lelang jabatan untuk para pegawai eselon dua. Pemerintah menamakan lelang jabatan tersebut sebagai open carier system atau promosi karier terbuka. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB), Azwar Abubakar menjelaskan, metode promosi karier terbuka ini hanya akan berlaku pada pegawai negeri sipil (PNS). Namun pembatasan tersebut dinilai bisa berubah jika menyangkut hal penting. âJadi (lelang jabatan) Pak Jokowi itu salah satu bentuk dari open carier system atau promosi karier terbuka. Tapi itu hanya untuk PNS. Jadi enggak benar kita buka untuk swasta juga. Dalam hal-hal tertentu kalau Presiden menganggap perlu baru Presiden buat juga, baru boleh juga. Seperti yang terjadi pada pak Johan L Parapak dan Daniel Makariem,â kata Azwar dikantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (15/5).
Lebih lanjut ia menjelaskan, pihaknya sudah mengeluarkan surat edaran mengenai sistem promosi jabatan PNS tersebut ke berbagai K/L dan juga daerah. Aturan tersebut juga akan dimasukkan dalam Undang-Undang (UU) Aparatur Negara, yang saat ini dalam tahap finalisasi dengan Presiden.
Dalam aturan ini, lanjut Azwar, promosi akan dibuka untuk jabatan eselon satu, eselon dua dan eselon tiga. Khusus jabatan eselon satu menurutnya akan bisa diikuti oleh PNS secara nasional yang memenuhi syarat yang ditetapkan. âKita baru mau mengubahnya dari promosi tertutup seperti sekarang menjadi promosi karier terbuka. Itu akan dipayungi dalam UU Aparatur negara. Sebelum itu saya buat surat edaran, ada 32 K/L dan daerah yang ikut,â katanya.
Menurut Azwar, aturan keterbukaan promosi jabatan ini akan memberikan banyak manfaat bagi pemerintah, seperti mempererat ikatan seluruh masyarakat dari berbagai daerah, meningkatkan kinerja pegawai dari adanya persaingan jabatan secara nasional dan mencapai tujuan reformasi birokrasi. âJadi ada persaingan sehat antar pegawai. Jadi tidak merasa aman dengan kinerja yang begitu-begitu saja. Itu yang kita cari. Keuntungannya itu. kalau kita lihat reformasi birokrasi, promosi karier terbuka itu salah satu yang penting,â katanya.
http://www.beritasatu.com/nasional/1...an-jokowi.html
Jokowi-Ahok Gembira Pemerintah Pusat Lelang Jabatan
Kamis, 18 Juli 2013 16:23 wibAisyah - Okezone
JAKARTA - Menanggapi kabar Pemerintah Pusat yang akan melakukan lelang jabatan, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) sangat mendukung langkah tersebut. "Bagus dong. Memang seleksi promosi terbuka butuh keberanian. Kenyataannya camat dan lurah yang dulu katanya enggak dukung, sekarang dukung semua," kata Jokowi di Kantor Kelurahan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Kamis (18/7/2013).
Dalam kesempatan berbeda, hal senada pun diungkapkan oleh wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang langkah pemerintah pusat yang akan melakukan lelang jabatan. "Bagus dong, bagus. Harus seperti itu. Karena memang itukan kerja sama dengan Menteri Aparatur Negara,"
Ahok menilai memang seleksi promosi lelang jabatan merupakan inti substansi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang hingga saati ini masih berada di kementrian dalam negeri. "Belum dibahas. Tapi itu dulu inisiatif dari DPR RI dulu komisi II. Saya masuh disitu waktu itu, kita buat RUU ASN. Disitu ada seleksi promosi terbuka untuk jabatan-jabatan eselon," pungkasnya.
Untuk diketahui, pemerintah pusat berencana melaksanakan seleksi dan promosi jabatan terbuka atau lelang jabatan di kementerian atau lembaga negara untuk pejabat eselon I dan II khususnya untuk jabatan direktur jenderal, tahun depan. Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, mengakui bahwa lelang jabatan tersebut mirip dengan seleksi dan promosi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) untuk lurah dan camat se-Jakarta
http://news.okezone.com/read/2013/07...lelang-jabatan
Pilkada dan Persoalan Korupsi
Mei 2012
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tidak mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi (Kompas, 24/4). Absennya mekanisme pencegah tersebut dapat menjadi ruang terbuka bagi kepala daerah untuk melakukan penyelewengan dan korupsi. Apalagi dengan ongkos politik yang mahal, korupsi kepala daerah kian menjadi.
Tercatat, pada periode 2004-2012, sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa.
Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 17/4). Fakta itu membuat miris kita. Pelaksanaan demokrasi yang diharapkan mampu mengubah keadaan untuk menjadi lebih baik justru menjadi lahan subur keculasan.
Ada beberapa hal yang mendorong kian masifnya korupsi kepala daerah. Pertama, mahalnya biaya politik. Seorang calon kepala daerah dihadapkan pada ongkos pencalonan yang tidak ringan karena berhadapan dengan mekanisme pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini membuat praktik politik uang menjadi rumus short cut untuk mendulang suara. Belum lagi seorang calon harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjemput kendaraan politiknya.
Kedua, tidak ada aturan penegas tentang pembatasan biaya atau belanja kampanye. Dalam pemilihan langsung, kampanye menjadi modal seorang calon untuk memperkenalkan diri kepada pemilih. Di sini, seorang calon perlu mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Apalagi, dalam praktiknya, seringkali kampanye dilakukan dengan âObralâ, penghamburan dana. Bagi calon bermodal besar, cara ini menguntungkan.
Ongkos politik dan biaya kampanye bisa mendorong calon yang jadi untuk tergerak mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Dengan kata lain, mereka perlu balik modal. Dalam kehendak seperti itu, jalannya adalah menyelewengkan jabatan dan korupsi anggaran daerah. Modus operandi seperti itu lazim digunakan dan ironisnya sampai saat ini tak ada teknik pencegahan yang efektif.
Ketiga, ketiadaan sanksi yang benar-benar menjerakan. Para pelanggar aturan Pilkada sejauh ini tidak mendapat sanksi yang bisa membuat mereka terseret dalam tindak pidana dan sekaligus membatalkan siapa yang dengan jelas tertangkap melakukan praktik money politic. Tidak ada semacam pengkategorian bahwa mereka telah melakukan kejahatan politik. Sebuah kejahatan Pilkada yang menggiring pelaku pada penjara
http://www.metro7.co.id/2012/05/pilk...n-korupsi.html
Karena Biaya yang Dikeluarkan Kandidat Besar; Pascapilkada Langsung Buka Peluang Korupsi
6 Juli 2005
Besarnya biaya politik (political financing) yang harus dikeluarkan kandidat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, membuka peluang besar praktik korupsi pada saat yang bersangkutan benar-benar terpilih sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota). Hal itu dipaparkan Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dr. Syamsa Ardisasmita, pada Sosialisasi Pemberantasan Korupsi dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara Provinsi Jabar di Ruang Rapat Paripurna DPRD Jabar, Selasa (5/7). Hadir pada kegiatan tersebut, Ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Sekretaris Daerah (Sekda) Jabar Setia Hidayat, beberapa bupati/wali kota di Jabar, serta para pejabat lainnya.
Menurut Syamsa, untuk mencegah praktik korupsi tersebut, DPRD sebagai lembaga yang memiliki wewenang formal mengawasi jalannya kinerja pemerintahan, harus terus diberdayakan. Citra legislatif harus terus dibangun sebagai lembaga yang terhormat dan bermartabat serta meningkatkan sikap, perilaku, dan posisi yang jelas untuk antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Syamsa mengungkapkan, pada 2005 ini di Indonesia digelar 11 pemilihan gubernur, 36 wali kota, dan 179 bupati, termasuk di dalamnya 5 pemilihan bupati/wali kota di Jabar. Beberapa potensi korupsi dalam proses pilkada adalah pengadaan barang dengan penunjukan langsung dengan alasan darurat dan kepala daerah yang masih menjabat berpotensi menggunakan anggaran daerah untuk kampanye.
Selain itu, adanya cukong-cukong yang berani memberi sumbangan dana kampanye sangat besar (menurut pasal 85 UU Pemberantasan Korupsi, itu dilarang-red.), ungkapnya.
Potensi lainnya adalah suap terhadap petugas KPUD, Panwas, PPK, PPS, dan KPPS untuk menggelembungkan suara. Return of investment dari biaya politik (money politics) oleh pasangan calon. Bagaimana kepala daerah berpikir untuk kesejahteraan rakyat, kalau harus berpikir return of investment, kata Syamsa.
Melonjak
Disebutkan Syamsa, KPK menengarai besarnya potensi korupsi pascapilkada, karena biaya politik pilkada langsung melonjak tinggi dibandingkan era sebelumnya, ketika pemilihan dilakukan oleh anggota DPRD. Dengan asumsi jumlah anggota DPRD di kabupaten/kota 45 orang, maka untuk menang seorang kandidat harus menuai suara minimal 51 persen.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Jabar Rahadi Zakaria yang hadir pada kegiatan itu, tak memungkiri sinyalemen yang disampaikan KPK. Secara logis, proses demokratis dengan melibatkan massa dalam jumlah banyak, tentu memakan biaya lebih besar dibandingkan menyerahkannya pada mekanisme demokrasi perwakilan
http://www.antikorupsi.org/id/conten...eluang-korupsi
Inilah Besaran Penghasilan Gubernur dan Bupati tahun 2013
Kamis, 21 Februari 2013, 12:29
VIVAnews - LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menolak rencana pemerintah menaikkan gaji kepala daerah. Rencana itu terucap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi permintaan Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Ke-9, kemarin. "FITRA meminta Presiden SBY untuk membatalkan kenaikan gaji Kepala Daerah," kata Sekretaris Jenderal FITRA Yuna Farhan dalam keterangan persnya, Kamis 21 Februari 2013.
Yuna menilai salah kaprah mempersepsi penghasilan kepala daerah minim. Menurutnya selama ini yang diketahui publik hanya gaji pokok dan tunjangan jabatan saja. Gaji gubernur Rp 8,4 juta. Gaji pokok Rp 3 juta ditambah tunjangan jabatan Rp 5,4 juta. Gaji bupati/walikota Rp 5,8 juta. Gaji pokok Rp 2,1 juta ditambah tunjangan jabatan Rp 3,7 juta.
"Padahal, sebenarnya kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan Pajak dan Retribusi daerah minimal yang besarnya minimal 6 kali gaji+tunjangan dan maksimal 10 kali gaji+tunjangan, tergantung dari Pajak dan Retribusi Daerah bersangkutan, sebagaimana diatur dalam PP 69 tahun 2010," kata Yuna. Menurutnya, untuk daerah yang miskin Pajak dan Reribusi Daerahnya, minimal seorang Gubernur akan memperoleh penghasilan bulanan yang masuk kekantong sebelum dipotong pajak Rp58,8 juta dan Bupati/Walikota Rp41,1 juta. "Secara resmi, Provinsi Jateng merilis Gaji Gubernurnya sebesar Rp 79,1 juta dan Gubernur Jatim Rp 79,8 juta, saat menanggapi rilis FITRA terkait pengahasilan Kepala Daerah akhir tahun lalu," ujarnya.
Penghasilan tersebut belum termasuk biaya penunjang operasional yang besarnya juga tergantung PAD. Biaya penunjang operasional ini ada yang bersifat lumpsum dan dikelola oleh Bendahara. "Untuk DKI Jakarta misalnya, biaya penunjang operasional yang diberikan setiap triwulannya sebesar Rp 4,4 milyar, dimana Gubernur Rp 2,4 milyar, Wagub Rp1 milyar dan yang dikelola Bendahara Rp900 juta."
http://nasional.news.viva.co.id/news...nur-dan-bupati
----------------------------
Semua sudah paham, bahwa penyebab maraknya korupsi Kepala Daerah itu, 90% rata-rata diakibatkan Kepala Daerah ybs "terlilit utang" saat masa kampanye Pilkada dulu untuk membiayai tim suksesnya memperoleh suara pemilih. Usai dia terpilih, hanya ada kesempatan waktu selama 5 tahun untuk mengembalikan semua biaya yang dikeluarkannya untuk Pilkada itu, semua termasuk utang-piutangnya. Dengan gaji resmi Gubernur atau Bupati/Walikota yang tak seberapa dari Negara, mana mungkinlah Kepala Daerah ybs bisa melunasi utang-utangnya itu, bahkan kalau dia diberi kesempatan berkuasa sampai 20 tahun sekali pun, tetap saja tidak bisa melunasi utang-utangnya itu kalau mengandalkan penghasilan dari sumber-sumber yang legal semata. Jadi, yaaa korupsi itulah jalan satu-satunya yang paling rasional.
Kalau jabatan Kepala Daerah itu dilelang, seperi Jokowi-Ahok melelang jabatan Lurah di DKI Jakarta belum lama ini, bisa jadi persoalan itu akan teratasi. Sebab, biaya untuk memenangkan lelang jabatan itu tidak akan terlalu mahal, bahkan tanpa biaya sekali pun, ada kemungkinan memenangkan lelang jabatan itu. Dengan cara itu, si Kepala Daerah lalu ditarget dengan jabatan yang diperolehnya dengan cara lelang itu. Misalnya, dalam 1 tahun si Kepala daerah harus mencapai penerimaan daerah (APBD), sekian-sekian. Dan pengeluaran dana APBD-nya minimal mencapai perolehan proyek yang minimal bernilai sekian-sekian. Kalau tak bisa memenuhi target, yaaa dipecat langsung. lalu diadakana lelang jabatan lagi.
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/51ea23d53f42b2c21c00000e