Itu kutipan beberapa teman yang sering saya dengar baru-baru ini. Entah itu di kantor, di Path, Twitter, Facebook, atau social media lainnya. Yah, akhir-akhir ini, banyak orang langsung menyebarluaskan suatu berita tanpa double check kebenaran dari informasi tersebut. Sedih banget ya Gan! Coba bayangkan kalau lo diberitain selingkuh, padahal lo cuman nemenin adik sepupu lo jalan-jalan. Males banget kan?!
Kejadian-kejadian ini gak cuman sekali. Berikut bukti-bukti kalau banyak pihak udah nyebarin berita tanpa klarifikasi dulu. Nih contohnya..
1. Dilarang Terlalu Ganteng di Arab Saudi
2. Siswi SMA di Prabumulih Diwajibkan Tes Keperawanan
3. Pengantin Kecil Yaman Tewas Malam Pertama
Nah, yang gua perhatiin sekarang, banyak media yang sering memberikan berita tanpa kroscek dulu kebenarnya. Contohnya ya tentang Roger Danuarta itu. Berbagai macam media udah gembar gembor kalau si Roger ini udah meninggal. Menurut gua sih, semuanya demi pemberitaan yang spektakuler dan fenomenal. Semakin banyak orang yang penasaran, pasti semakin banyak traffic yang datang untuk mengakses media itu. Tapi apa perlu menjual sebuah berita yang belum tau kebenerannya?
r /> Oh ya, sebelum lupa, ini ada artikel bagus tentang penyeberan hoax.
Quote:Hoax, Para Monyet dan Wartawan
Seorang wartawan menjuluki mereka yang suka menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya sebagai the clicking monkeys, tapi celakanya para wartawan sering menjadi kumpulan monyet semacam itu. Mereka menulis apa saja yang dipungut dari sumber apa saja dan tidak jelas. Sebagian menulis tanpa malu dengan tak mencantumkan asal-usul sumbernya.
oleh Rusdi Mathari
THE HOAX adalah nama sebuah judul film drama yang dibuat 2005. Film itu berkisah tentang kisah hidup Clifford Michael Irving, reporter investigasi yang cukup terkenal di Amerika Serikat. Dia juga menulis beberapa buku. Antara lain biografi Howard Hughes, salah satu orang kaya di Amerika.
Buku itulah yang kemudian diangkat ke layar lebar meski belakangan diketahui, banyak yang ditulis oleh Irving di bukunya dihilangkan atau diubah dan tidak muncul di âThe Hoaxâ. Irving kesal dan menganggap film itu penuh kebohongan. Dia kemudian meminta agar namanya tidak dimunculkan di kredit film. âThe Hoaxâ sejak itu menjadi terkenal. Bukan karena menarik untuk ditonton melainkan karena menjadi istilah baru untuk menyebut suatu kebohongan.
Sejak semalam media di Indonesia ramai memberitakan kabar tentang PM Singapura Lee Hsien Loong yang memutuskan untuk tidak berteman dengan Presiden SBY di Facebook. Lee dikabarkan juga menghilangkan tag foto SBY di album foto di Facebook-nya. Berita yang dikutip dari newnation.sg, media Singapura itu, mulanya hanya dikutip oleh satu media lalu seperti biasanya, media di sini beramai-ramai mengekor karena takut dianggap ketinggalan isu.
Sayangnya, berita itu adalah berita yang tak jelas kebenarannya. Tak ada verifikasi dari wartawan yang mengutip: apakah akun Lee di Facebook adalah benar miliknya, begitu juga dengan akun SBY. Kompas.com yang juga menyebarkan berita itu, pagi ini meralatnya dan menyebut akun SBY di Facebook yang dimaksud adalah halaman para pendukung[fanpage]. Artinya bukan akun pribadi SBY.
Berita semacam itu akan tetapi telanjur direspons publik kelas menengah ngehek di media sosial dengan berbagai reaksi di tengah [konon] memanasnya isu hubungan Singapura-Indonesia. Mereka yang mendaku melek informasi dan teknologi itu, rupanya lebih suka membaca judul berita dan tak merasa perlu untuk bercapek-capek mengecek kebenarannya; lalu menyebarkannya di media sosial agar dianggap paling awal tahu tentang sebuah informasi.
Beberapa hari sebelum isu soal Lee, SBY dan Facebook-nya itu, juga muncul berita berjudul âUSA Takut Gempur NKRI. Ini Alasannyaâ di theglobal-review.com. Tulisan itu memuat pernyataan tiga jenderal di sebuah acara dialog yang kabarnya disiarkan oleh TV ABC 13 Texas tentang kekuatan militer Indonesia. Tulisan dari theglobal-review.com kemudian diunggah ke Facebook dan Twitter dengan berbagai komentar. Saya ikut membacanya, tapi tidak percaya dengan isi tulisan karena beberapa alasan jurnalistik.
Pertama, karena sejak awal tulisan tidak disebutkan kapan peristiwa dialog di TV ABC 13 Texas berlangsung. Kedua, theglobal-review.com tidak mencantumkan sumber tulisannya. Ketiga, saya sudah berusaha mencari tahu dengan mengakses situs TV ABC 13 Texas, tapi belum menemukan acara yang dimaksud oleh tulisan itu.
Saya ingat, sebelum muncul di theglobal-review.com, saya pernah membaca tulisan itu di salah satu akun Facebook seorang teman. Teman itu meneruskan tulisan yang muncul di halaman pendukung Power of Islamosphere, dan saya kira wartawan theglobal-review.com memungut apa adanya [copy paste] dari sana dan tanpa malu tidak mencantumkan sumber aslinya. Mereka tampaknya bukan saja malas tapi juga tak beretika.
Desember 2011, pernah juga muncul berita tentang ulama yang melarang perempuan makan pisang karena katanya dikuatirkan akan membuat mereka terangsang secara seksual. Berita yang kali pertama dimuat oleh Bikya Masr, sebuah media online dari Mesir itu dilahap oleh Tempo.co yang dicomot dari Daily Mirror, koran gosip dari London; dan berdasarkan berita yang ditulis oleh Tempo.co itu, pengguna media sosial kemudian menjadikannya bahan olok-olok.
Saya tidak tertarik dengan berita itu, hingga Made Tony Supriatma men-tag saya di Facebook tentang kebohongan berita perempuan dilarang memakan pisang itu. Dia awalnya hanya mendengar dari radio di Amerika yang mengundang Rush Limbaugh, konservatif republikan dalam sebuah talkshow. Di acara itulah, Limbaugh mengoceh tentang seorang ulama yang melarang kaum perempuan menyentuh buah pisang sembari dengan girang membuat ejekan-ejekan.
Sambil mengesankan berita itu benar, Limbaugh menyebutkan sumber beritanya berasal dari Bikya Masr. Berita itu lalu disiarkan oleh FoxNews, jaringan TV berita terbesar di Amerika yang dimiliki oleh konglomerat media Rupert Murdoch, yang dikenal konservatif dan sangat bias.
Made mencoba mencari tahu kebenaran berita itu, dan dia sampai pada kesimpulan: sumber berita tentang pisang itu tidak jelas sama sekali. Celakanya, berita itu telanjur disebarkanluaskan-ulang oleh media-media konservatif [menurut Made memang sangat anti terhadap Islam] untuk memajukan agenda anti-Islam mereka, kendati Bikya Masr belakangan mengakui keteledoran mereka.
Di Facebook, Made yang tinggal di Amerika mengkritik dan menyayangkan media sekelas Tempo tidak melakukan kontrol jurnalistik yang ketat dan lebih tertarik pada gosip. â⦠berita ini adalah slander terhadap Islam dan umat Islam. Untuk saya, persoalannya menjadi mendesak karena media Indonesia sendiri memuatnya. Sangat tidak sehat untuk jurnalisme dan untuk hubungan sosial di Indonesia.â Begitulah kata Made dan tidak lupa dia menyertakan tautan tulisan di addictinginfo.org yang membantah kebohongan berita yang disebarkan oleh FoxNews.
November tahun lalu menyusul isu âJilbab Hitamâ yang antara lain mempersoalkan kelakuan wartawan Tempo, Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co menulis artikel menarik berjudul âThe Clicking Monkeys.â Menurut Daru: the clicking monkeys adalah julukan untuk orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk menyebarluaskan hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial. Mereka seperti kumpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Agar tidak ketahuan lugu, biasanya mereka menambahkan kata seperti: âApa iya benar info ini?â atau âSaya hanya retweet lhoo.â
Saya sepakat dengan Daru, tapi di sini, mereka yang disebut sebagai the clicking monkeys celakanya justru banyak berasal dari kalangan wartawan. Mereka itulah wartawan pemalas, yang atas nama roda industri pemberitaan dan kebebasan pers, memungut informasi apa saja tanpa perlu mengukurnya dengan standar dan etika jurnalistik lalu mengemasnya menjadi berita dan menyebarkannya tanpa malu.
Maka tidak perlu heran, bila orang seperti Benedict Anderson, profesor di Universitas Cornell yang menulis banyak buku tentang Indonesia pun, mengaku frustasi membaca media-media terbitan Indonesia; dan keprihatinannya itu tentulah bukan hoax.
sumber
Sedih sih sama mental orang-orang yang menjual berita tanpa peduli dengan kebenarannya. Kalau lo, selalu cek en ricek dulu gak sebelum ritwit / nyebarin suatu berita??
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/53032acbf8ca1745058b4609