Semua orang pasti setuju kalau Branding adalah bagian paling vital dari segenap aktivitas Marketing. Sang Mbahnya Branding Prof. Kevin Lane Keller sendiri menyebutkan bahwa Branding adalah jantungnya marketing. Maksudnya jika Branding bekerja dengan sangat baik maka elemen-elemen marketing yang lain juga akan teraliri oksigen dengan baik pula, dan berlaku juga sebaliknya. Jika sebuah Brand sudah yang sudah cacat atau hilang kepercayaan dari konsumen maka secara otomatis pula kerja elemen lain juga akan jadi terbengkalai.
Bagaiamana mungkin kita tetep ngotot melakukan produksi, distribusi, promosi dan menjual barang jika brand kita sudah terlanjur dibenci dan dicampakkan konsumen. Semua aktivitas yang dilakukan perusahaan bisa-bisa hanya akan berujung pada kerugian semata.Itulah alasan pentingnya kenapa sebuah perusahaan perlu untuk menumbuhkan dan menjaga brand nya agar ia tetap dipercaya oleh konsumen.
Ketika sebuah brand bisa menjadi stimulus atau rangsangan yang kuat bagi konsumen, mampu membangkitkan respon berupa emosi positif dan memory menyenangkan yang terjadi dalam benak konsumen , sampai mampu mendorong konsumen melakukan pembelian yang berulang , dan loyal pada Brand tersebut itulah pencapaian pencapaian puncak dari sebuah activitas branding.
Salah satu teori terpenting yang mampu menjelaskan tentang bagaimana reaksi sebuah brand ketika ia berlaku sebagai stimulus yang mengharapkan reaksi emosional tertentu dari konsumen adalah Pavlovian Classical Conditioning
Kenapa teori ini Saya angkat, karena teori ini sering terlupakan, karena jarang sekali diberikan bersama teori Branding dan Marketing yang diajarkan di bangku perkuliahan maupun seminar-seminar tentang Branding dan Marketing. Wajar karena ini sebenarnya adalah materi perkuliahan di bidang psikologi ataupun kedokteran.
Meskipun begitu teori ini banyak dijadikan sebagai kurikulum oleh para marketers global dalam mendevelop suatu brand dan mengembangkan teori marketing mereka. Karena teori ini lebih bisa menjelaskan bagaimana sebuah Brand bisa mempengaruhi emosi konsumen bahkan mempengaruhi perilaku mereka. Tentu saja dengan digabungkan dengan paketan cognitive science mengingat ilmu psikologi adalah bagian dari cognitive science, dan pastinya harus diselaraskan juga dengan ilmu marketing-branding terapan ala Kotler-Keller sehingga penerapannya lebih terstruktur dan sistematis.
Adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) ilmuwan asal Rusia peraih Nobel dibidang Physiology or Medicine di tahun 1904. Salah satu legacy briliannya adalah Classical Conditioning atau terkenal juga sebagai Pavlovian Classical Conditioning yang banyak dijadikan sebagai pijakan dasar untuk ilmu-ilmu psikologi dan kedokteran terutama tentang bagaimana memodifikasi perilaku (Behavior Modification) ataupun Behavioral Engineering. Smapia akhirnya dikorelasikan bagaimana sebuah BRnad bisa mempengaruhi emosi dan merubah perilaku konsumen.
Classical Conditioning atau Teknik Pengkondisian Klasik berangkat dari percobaan Pavlov yang sangat sederhana saat ia mengamati perilaku anjing kesayangannya. Pavlov kemudian melakukan penelitian terhadap pola perilaku anjingnya yang secara spontan mengeluarkan air liur (salivating) saat ia bawakan makanan.
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) Sang Penemu Classical Conditioning
Tujuan uji coba ini sendiri sebenarnya hanya untuk mengetahui apakah ia bisa mempengaruhi pola perilaku anjingya dari pengkondisian stimulus atau rangsangan yang ia berikan. Classical Conditioning sendiri sejatinya adalah sebuah metode pembelajaran yang muncul ketika Conditioned Stimulus (CS) atau stimulus yang bisa dikondisikan dipasangkan dengan Unconditioned Stimulus (UCS) atau stimulus yang tidak terkondisikan. Biasanya CS sendiri itu memiliki sifat yang netral atau tidak memiliki reaksi biologis apapun terhadap obyek. Misal yang biasa digunakan adalah suara bel, suara garputala dll. Sedangkan UCS sendiri adalah stimulus yang secara biologis menimbulkan reaksi reflex dari obyek yang di berikan stimulus.
Sedangkan reflex yang dimaksud disini adalah Unconditioned Response (UCR) atau sebuah response reflex yang di munculkan oleh obyek ketika ia diberikan stimulus berupa UCS. Contoh respon reflex yang tidak dikondisikan (Unconditioned Response) tadi misalnya reaksi mengeluarkan air liur.
Biar lebih jelas, mari kita rinci lagi elemen-elemen apa saja yang digunakan Pavlov untuk menuntaskan eksperimen ini.
Conditioned Stimulus (CS)â" Rangsangan yang terkondisikan â" Bersifat Netral artinya obyek tidak akan bereaksi apa-apa ketika stimulus ini diberikan. Dalam kasus ini: Bunyi bel
Unconditoned Stimulus (UCS) â" Rangsangan yang tidak dikondisikan â" Rangsangan yang memicu obyek untuk reaksi biologis tidak bisa dikendalikan oleh obyek. Dalam kasus ini: Makanan
Unconditioned Response (UCR) â" Respon yang tidak bisa dikondisikan â" Merupakan reflek dari obyek ketika ia mendapatkan rangsangan atau stimulus berupa UCS. Response ini diperoleh dari tanpa melalui proses pembelajaran atau pengalaman tambahan terlebih dahulu. Contoh: Reaksi mengeluarkan air liur
Conditioned Response (CR)- Respon yang dikondisikan atau diharapkan ketika rangsangan terkondisikan atau CS diberikan pada obyek. Respon ini didapatkan setelah adanya proses pembelajaran maupun pemberian pengalaman tambahan melalui proses pengkondisian (conditioning process). Contoh pada eksperimen ini adalah reaksi mengeluarkan air liur.
UCR maupun CR pada merupakan reaksi yang sama. Bedanya adalah kalau UCR reaksi diberikan tanpa adanya proses pembelajaran (pengkondisian) sedangkan CR diperoleh melalui proses pengkondisian terlebih dahulu.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar dibawah:
Ilustrasi Pavlovian Classical Conditioning
CLASSICAL CONDITIONING EXPERIMENT STAGES
Ada tiga tahapan yang dilakukan Pavlov dalam melakukan percobaan yang cukup fenomenal itu:
Tahap 1: Before Conditioning
Adalah pembuktian keadaan awal bahwa obyek bereaksi netral terhadap pemberian stimulus CR. Awalnya anjing tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap suara bel (CR) ketika dibunyikan.
Anjing memberikan respon mengeluarkan air liur (UCR) ketika makanan atau (UCS) diberikan.
Tahap 2: During Conditioning
Pavlov akan membunyikan lonceng setiap kali ia membawakan makanan. Dan seperti biasa anjing akan bereaksi dengan mengeluarkan air liur karena ada makanan (UCR) yang diebrikan untuknya.
Pada tahap ini adalah proses pengkondisian dimana UCS (makanan) akan selalu diberikan berbarengan dengan CR dan obyek akan merespon dengan UCR.
Proses ini lakukan berulang-ulang sampai si anjing cukup belajar dan memiiki pengalaman bahwa CS adalah identical dengan UCS atau bunyi bel adalah identik dengan makanan.
Tahap 3: After Conditioning
Pada tahapan ini Pavlov cukup membunyikan bel (CS) tanpa harus memberikan makanan. Dan ternyata reaksi yang diberikan adalah masih tetap sama yakni mengeluarkan air liur (CR) meskipun tidak ada makanan atau (UCS) yang diberikan. Namun response atau reaksi yang diberikan adalah setelah melalui proses pengkondisian (conditioning) sebelumnya dimana CS+UCS diberikan bersamaan.
CLASSICAL CONDITIONING AND BRANDING
Kita kembalikan lagi pada konsep branding yang pernah kita pelajari.
Sebuah Strategi Branding yang terarah dan memiliki goal yang sangat jelas pasti sudah menentukan Conditioned Response (CR) seperti apa yang diharapkan dari konsumen ketika indera mereka menangkap Brand sebagai Conditioned Stimulus (CS).
Brand adalah sebuah Conditioned Stimulus (CS) yang tentu saja akan mengharapakan reaksi berupa perasaaan emosional tertentu (sebagai CR) sebagaimana dikehendaki dari si pemilik Brand melalui serangkaian proses pengkondisian. Pengkondisian dalam konteks Brand ini bisa dikatakan sebagai aktivitas Branding atau lebih globalnya Integrated Marketing Communication (IMC).
Jadi sebuah proses branding haruslah tersusun sedemikian rupa dengan arah yang jelas, untuk memperkuat efek Conditioned Response ketika Brand yang sejatnya adalah sebuah Conditioned Stimulus tadi diberikan pada obyek (konsumen).
BRANDING = CONDITIONING = BINDING PROCESS BETWEEN CS+UCS
Brand yang berlaku sebagai CS seperti halnya bunyi bell pada konteks percobaan Pavlov, pada awalnya adalah sesuatu yang sifatnya netral atau tidak menimbulkan reaksi apapun pada obyek ketika stimulus itu diberikan. Agar ia memiliki makna, maka CS harus diikat dengan pengetahuan, pengalaman tertentu yang beresonansi kuat dengan emosi konsumen sehingga menjadi lebih hidup.
Tanpa di embedded atau dimasukkan unsur emosi dari konsumen Brand hanyalah sebuah nama, istilah, pola desain tertentu, symbol atau apapun yang sifatnya netral tanpa makna. Pengalaman dan pengetahuan dari konsumen lah yang membuat Brand ini memiliki arti dan persepsi tertentu di mata konsumennya. Jika Brand itu sendiri belum begitu dikenal oleh konsumen, maka ia perlu di asosiakan dengan pengetahuan, pengalaman dari obyek lain yang sudah memliki ikatan emosional dengan konsumen sebelumnya (UCR).
Jadi disini jelas sekali terlihat bahwa tujuan dari proses pengkondisian (CS+UCS) adalah untuk membentuk persepsi konsumen terhadap Brand agar ia dipersepsikan yang sama sebagaimana konsumen memiliki persepsi dengan stimulus yang kita umpankan.
Penting bagi kita untuk membantu mendifinisikan makna dari Brand kita di benak konsumen. Karena jika kita tidak me-lead konsumen dalam memberikan persepsi mereka, konsumen akan liar mendefinisikan Brand kita dengan persepsi mereka masing-masing menurut pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena Brand sendiri awalnya bersifat netral atau tidak memliki reaksi apapun terhadap konsumen jika mereka tidak memiliki pengetahuan maupun pengalaman dengan sebuah Brand.
Ambil contoh BMW sebuah Brand otomotif yang sudah mendunia. Brand asal Jerman ini bagi sebagian besar orang adalah sebuah akan dipersepsikan sebagai kendaraan yang sangat mewah yang mampu memadukan desain dan teknologi dengan sangat indahnya. Sangat sesuai dengan slogannya 'The Ultimate Driving Machine'
Namun bagi para pengusaha minyak Timur Tengah yang biasa bergelimang harta, BMW bisa jadi adalah sebuah mobil âmurahanâ dalam persepsi mereka. Karena mereka sudah biasa mengendari Supercar seperti Ferari, Lamborghini bahkan Bugatti yang jauh lebih mewah dan berkelas dibanding BMW. Satu Bugatti Veyron haraga 2,4 juta USD bisa ditukar dengan lusinan BMW tipe 650i.
Namun bagi masyarakat pedalaman yang belum tersentuh kemajuan teknologi, jika kita sebut BMW tidak akan bereaksi apa-apa terhadap mereka. Bahkan kalau mereka disuruh memilih BMW atau Sapi, mereka tanpa pikir panjang akan yakin memilih sapi karena selain bisa ditunggangi, bisa digunakan untuk membajak sawah, ia juga bisa diambil susunya.
Quote:âWe see the world, not as it is, but as we areâ"â"or, as we are conditioned to see it.â
â Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People
Itu juga menjadi alasan kenapa pemilihan UCS harus hati-hati dan selektif. Harus jelas dulu UCS ini kira-kira akan menghasilkan UCR seperti apa nantinya. Jika terjadi ketidak jelasan atau masih ambigu dalam penafsirannya maka Brand kita nanti juga akan ikut dipersepsikan sebagai sesuatu yang absurd dan kadang tidak melenceng jauh dari niat pemilik brand sebelumnya. Kalau pinjam istilah Branding saat ini, Brand Positioning nya harus didefinisikan dengan jelas, karena nantinya akan menentukan bagaimana Brand tersebut akan dikomunikasikan.
CONDITIONING ALA AXE
Ambil contoh Brand produk body spray yang sudah sangat terkenal dengan image seksi nya. Ketika AXE ingin diposisikan sebagai sebuah Brand yang ingin menonjolkan sisi seductive atau ingin mengekspose keseksian aroma dari setiap produknya, maka dalam setiap aktivitas marcomm nya bisa dipastikan AXE akan selalu konsisten mengusung aura keseksian model-model yang membintangi materi promosinya. Model yang diangkatnya pada umumnya sudah sangat dikenal oleh masyarakat dengan persepsi seksinya.
Sebut saja Vicky Shu, Aura Kasih dan Tyas Mirasih yang diusung AXE Apollo Space Academy campaign. Sebelumnya AXE juga pernah menggunakan jasa Luna Maya, Marissa Nasution, Chantal Della Concetta, Uli Auliani, Donita dalam campaign Brand mereka sebelumnya. Semua model yang dipakai dalam campaign-campaign AXE adalah model yang memang lebih dulu sudah dipersepsikan masyarakat umum memiliki karakter dengan image seksi yang kuat.
Konsumen mendapat pengetahuan atau pengalaman yang membentuk persepsi seksi tersebut dari berbagai media. Bisa jadi lewat acara TV, koran, artikel majalah, film, sinetron ataupun profile dan foto-foto mereka di internet.
Reaksi biologis atau sensasi yang selama ini dirasakan konsumen (UCR) ketika mereka mendapatkan stimulus model-model tadi (UCS) ingin di pinjam oleh AXE untuk dijadikan sebagai CR nya.
Tujuannya ketika konsumen melihat logo AXE atau mendengar Brand AXE disebut, maka ia memiliki reaksi emosional yang sama ketika konsumen mendapatkan stimulus model-model tadi, yakni aura keseksian dan sensualitas.
KEPIAWAIAN COCACOLA MENJADIKAN MOMEN SEBAGAI UCS
Conditioning dalam perkembangannya tidak selalu dihubungkan dengan seseorang atau obyek. Karena conditioning model seperti ini memiliki kelemahan yang cukup fatal. Ketika terjadi degradasi image pada UCS atau obyek yang kita pinjam iamgenya tadi, bisa jadi hal ini berdampak juga pada image dari Brand baik langsung maupun tidak langsung. Dan jika asosiasi antara Brand (CS) dan Objek yang ditumpangi (UCS) terlalu kuat hal tersebut bisa otomatis menghancurkan reputasi dari Brand itu sendiri.
Banyak Brand yang mengakalinya dengan menumpangkan image nya pada karakter nonfiksi karena lebih bisa dipegang konsistensi image dari karakter tersebut. Biasanya dipakai pada brand atau produk yang segementasinya untuk anak-anak.
Wajar saja karena anak-anak masih suka berimajinasi dan sangat mengidolakan karakter-karakter yang jadi jagoan serial TV atau komik favoritnya. Tentu saja tidak semua pemilik lisensi karakter non fiksi mau karakternya dijadikan UCS. Kalaupun mau pemilik Brand harus rela merogoh kocek dalam-dalam, apalagi sudah bersinggungan dengan karakter-karakter kelas dunia milik Disney, WarnerBross, Marvel, DC dan lain-lain.
Yang cukup cerdas menurut Saya adalah Brand yang mampu mengeksekusi momen sebagai UCS mereka. Lebih tepatnya Brand memanfaatkan emosi konsumen yang biasa mereka rasakan ketika mereka merayakan momen tersebut.
Brand global yang terkenal piawai memanfaatkan berbagai momen sebagai UCS mereka adalah CocaCola. Apapun momennya dan dimanapun tempatnya CocaCola selalu mampu mengeksekusi UCS ini dengan sempurna untuk di custom dalam promo-promo mereka. Mulai momen lebaran di Indonesia (masih ingat sama jingle "Always CocaCola" yang muncul pas lebaran duluuuuu banget) sampai event akbar rutin sekelas World Cup. CocaCola tidak pernah ketinggalan untuk ikut menyemarakkan momen-momen tersebut dan berupaya menjadikannya sebagai UCSnya.
Dan salah satu karya CocaCola yang paling fenomenal dalam mengikat Brand mereka dengan momen sebagai UCS adalah ketika mereka mampu mampu memasukkan karakter Brand mereka pada UCS yang ditumpanginya. Aneh bukan? UCS yang mestinya yang dipinjam image nya oleh Brand, malah Brand itu yang berhasil meninggalkan karakter pada UCS tersebut. Karena umumnya UCS lah yang memiliki kemampuan yang lebih kuat dalam menghasilkan UCR.
Dan itu dilakukan dengan cerdik sekali tentu saja tanpa sepengetahuan konsumen. Itulah salah satu maha karya Branding terdahsyat yang pernah ada. CocaCola adalah maestronya sekaligus 'tersangka'nya.
Perayaan Natal dan Tahun Baru adalah momen yang paling ditunggu oleh umat kristiani dari seluruh dunia. Dan perayaan tersebut tak pernah bisa lepas dengan yang namanya Santa Claus atau kita biasa menyebutnya Sinterklas. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos Santa ini, yang jelas kehadirannya selalu menghiasi momen special tersebut. Karakter Santa yang digambarkan Sosok kakek baik hati dari kutub dengan badan subur, berjenggot putih lebat sebagai seorang yang ramah, dermawan, suka memberi hadiah adalah sosok yang paling dinanti dalam perayaan Natal, terutama oleh anak-anak.
Dan tahukah kita, bahwa semenjak mitos Santa itu ada, masih belum jelas bagaimana ilustrasi karakter Santa atau St. Nicholas yang sebenarnya. Terutama warna pakaian dan atribut yang dikenakannya. Beberapa ilustrasi terdahulu penah menggambarkannya dalam beragam warna diantaranya hijau, putih, merah dan coklat. Paling sering digambarkan dengan warna hijau, karena warna hijau merupakan warna tradisional dari British Father Christmas termasuk Spirit Christmas Present dalam Christmas Carol.
Kepopuleran Santa mengenakan warna dominan merah adalah setelah sejak tahun 1931 Haddon Sundblom seorang artist keturunan Swedia-Amerika melukis Santa dalam nuansa warna merah untuk keperluan iklan CocaCola.
Dan warna merah itu sendiri merupakan warna kebangsaan CocaCola. Setelah itu CocaCola selalu konsisten menggunakan Santa beratribut merah dalam iklan-iklan berikutnya.
Dampaknya sampai sekarang Santa lebih sering digambarkan berbaju merah ketimbang warna lainnya. Meskipun begitu pihak CocaCola membantah kalau ia memiliki kesengajaan menggambarkan Santa agar bernuansa sama dengan warna karakter CocaCola.
Bagaimanapun fakta aslinya kepiawaian CocaCola mengeksekusi momen adalah sesuatu yang brilian. Momen Natal yang lekat dengan luapan emosi kegembiraan, kebahagiaan dan kebersamaan keluarga sudah âdibajakâ dengan sempurna dengan brandingan khas CocaCola.
Ilustrasi berikut cukup jelas menggambarkan bagaiman kira-kira proses Conditioning yang dilakukan oleh CocaCola dengan Sinterklas nya:
Nah pertanyaannya, bisa kah kita mengulangi karya branding yang sedemikian hebat yang memiliki resonansi kuat dengan emosional konsumen? Biarkan sense of marketing dan kreativitas Anda yang menjawabnya.
Biar tidak ketinggalan dan selalu update dengan sharing ilmu-ilmu branding dan marketing jangan lupa add friend ane ya Gan, plus follow juga akun twitter ane juga ya gan @saifulism.
Jangan lupa cendolnya ya Gan + LIKE and SHARE
Let's Connecting More Dots
@Saifulism
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/535bf188a4cb17367c8b4a31