Nasionalisme seorang Jokowi mirip-mirip Soekarno?
Sama-sama tak mau di dikte asing!
Tak tahu diberitakan media Amerika, Jokowi fokus benahi Jakarta
Jumat, 27 September 2013 00:31:00
Kinerja Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan media lokal dan internasional, tak terkecuali salah satu media besar Amerika Serikat, New York Times. New York Times, mengulas gaya blusukan Jokowi dengan judul 'In Indonesia, a Governor at Home on the Streets'. Meski menjadi topik di media internasional, Jokowi tak mempedulikannya. Sebab yang ada di otaknya hanya fokus untuk membenahi Jakarta. "Saya belum tahu. Yang pasti, di Jakarta itu ada 360 slump area dan ada tiga jutaan orang yang berhimpitan tinggalnya di rumah yang luasnya 2x2 meter," ujar Jokowi di Wahid Institute, Jakarta, Kamis (26/9).
Seperti diketahui, gaya blusukan Jokowi ditulis oleh Joe Cochrane. Joe menulis, Jokowi adalah seorang pemimpin yang berbeda dengan lainnya. Jokowi dianggap sering turun ke lapangan atau blusukan. Jokowi juga dianggap sebagai pejabat yang bersih di tengah banyaknya kasus korupsi yang menjerat pejabat di Indonesia. Jokowi dinilai sebagai pejabat yang tidak memperkaya diri sendiri dan bekerja keras untuk memerangi korupsi.
http://www.merdeka.com/jakarta/tak-t...i-jakarta.html
New York Times Soroti Blusukan Jokowi
Kamis, 26/09/2013 12:07 WIB
source pic: http://www.nytimes.com/2013/09/26/wo...anted=all&_r=0
Jakarta - Soal blusukan memang populer di era Gubernur DKI Jokowi. Kemunculannya yang lebih banyak berkantor di jalan menjadi fenomena. Tak heran kalau media internasional ternama seperti New York Times menyorot blusukan Jokowi, 'a Governor at Home on the Streets'. New York Times menyorot soal Jokowi pada pemberitaan Rabu (25/9/2013). Di tulisan itu diceritakan bagaimana Jokowi berkeliling ke kawasan kumuh, pasar tradisional dan tempat lainnya. "Orang Indonesia shock melihat pemimpinnya keluar dari kantor mereka," tulis New York Times.
Di tulisan itu, ditulis juga komentar Jokowi soal aksi blusukannya. Menurut Jokowi di artikel itu, dia menemui orang-orang di jalan, sebagai demokrasi di jalanan. "Saya menjelaskan program, kemudian saya mendapatkan masukan," terang Jokowi di artikel itu.
New York Times juga menggambarkan bagaimana Jokowi merupakan sebuah harapan di mana dia tidak menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Jokowi dipuji sebagai politisi yang bersih. Jokowi juga dinilai sukses membereskan Tanah Abang dan Waduk Pluit. Media AS ini juga menyebut Jokowi sebagai 'man of the people'. Jokowi calon paling kuat menjadi presiden menggantikan SBY di 2014. Tapi keputusan masih menunggu Mrs Megawati yang mengendalikan PDIP, partai di mana Jokowi bernaung.
http://news.detik..com/read/2013/09/...?991104topnews
Laporan embah Google Seputar Peliputan Jokowi oleh Media Dunia hari ini ....
source: https://www.google.co.id/#psj=1&q='a...eets'.&start=0
"Street Democracy" ala Jokowi Diulas di Koran Jepang "Asahi Shimbun"
Kamis, 26 September 2013 | 18:49 WIB
Tak hanya di the New York Times, gaya blusukan yang dilakukan Jokowi dengan mendekati langsung ke tempat-tempat yang menjadi sumber masalah di Jakarta juga mendapat perhatian di media Jepang. Salah satu koran terkemuka di Jepang, Asahi Shimbun, membahas gebrakan Jokowi dalam artikelnya di halaman 2 edisi yang terbit 31 Juli 2013. Di artikel tersebut, Asahi Shimbun menyoroti sepak terjang Jokowi yang akan menormalisasi sungai. Sebut koran tersebut, ada 4 sungai yang akan menjadi prioritas Jokowi mengatasi masalah banjir di Ibu Kota. Juni lalu, Jokowi meninjau Sungai Pesanggrahan yang mengalir sepanjang Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Jokowi berencana untuk melebarkan sungai tersebut. Namun, tidak mudah karena masih banyaknya warga yang tinggal di bantaran sungai tersebut. Banyak sampah plastik dan sampah besar yang mengapung di sungai tersebut. Cara Jokowi mendekati warga agar mau pindah dari bantaran sungai menjadi perhatian di artikel tersebut. Asahi Shimbun mengungkap komentar salah seorang warga yang bakal terkena proyek tersebut. "Ini pertama kalinya Jokowi ke sini, dan saya senang. Tapi kalau kami hanya mendapat ganti rugi. Rp 1,2 juta, gimana ya? Seharusnya sepuluh kali lipat dari itu," kata Nurhayati, salah satu warga.
Lantas apa tanggapan Jokowi? "Yang penting kita langsung turun dan berbicara dengan orang yang bersangkutan. Ini yang namanya 'street democracy'. Masalahnya, bagaimana kita meyakinkan warga," kata Jokowi. Itulah makna blusukan yang dilakukan Jokowi, yakni berhubungan langsung dengan sumber masalah. Untuk program ini, Jokowi memang belum bisa membuktikan diri sanggup meyakinkan warga untuk pindah dari bantaran sungai. Bahkan, menurut Asahi Shimbun, kalaupun nantinya sungai-sungai tersebut bisa dibenahi dan dinormalisasi, belum menjamin masalah banjir teratasi. Dilihat akar masalahnya, penyebab sungai meluap adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak seenaknya membuang sampah di sungai. Jika sungai dibenahi tetapi cara berpikir masyarakat tetap seperti ini, bukan tidak mungkin banjir akan tetap terjadi.
http://megapolitan.kompas.com/read/2...campaign=Khlwp
Asing dan Lembaga Survei Dorong Jokowi Jadi RI-1?
Minggu, 21 Juli 2013 | 18:54 WIB
Paparan figur Jokowi di media kelas dunia, The Wall Street Journal
source: http://realtime.wsj.com/indonesia/tag/jokowi/
Popularitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang dianggap pantas menjadi RI-1 melalui Pemilu Presiden 2014, sepertinya belum akan habis. Bahkan bukan hal mustahil yang bakal terjadi , makin dekat momen penentuan capres dan cawapres, nama Jokowi akan terus menjadi sosok terpopuler. Padahal makna paling terpopuler bukanlah dalam konotasi terbaik. Sayangya, di tengah hiruk pikuk dan maraknya pencitraan positif tentang Jokowi, tak ada lagi yang bisa membedakan antara terpopuler dan terbaik. Atau seolah-olah kalau sudah terpopuler sudah sama maknanya dengan terbaik. Masyarakat kita dibuat rancu. Yang patut dicermati, kalaupun Jokowi masuk dalam kategori terbaik, namun seharusnya masih perlu ada embel-embelnya. Yaitu Jokowi merupakan figur terbaik di antara yang terburuk (the best amongst the worst). Popularitas Jokowi terus melejit antara lain dipicu hasil berbagai lembaga survei. Lembaga survei mengaku independen dan seakan melakukan survei tanpa hitung-hitungan bisnis.
Mereka terus merilis hasil yang menyebutkan elektabilitas Jokowi paling tinggi. Rilis itu disebar melalui pertemuan pers dan pada kesempatan yang bersamaan, penyelenggara survei memberi pembobotan secara verbal di sana sini. Bahwa Jokowi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki para figur politik lainnya yang juga berpotensi menjadi RI-1. Masyarakat dibius untuk percaya. Sebab para penyelenggara survei dan yang berbicara sebagai pengamat, diberi embel-embel pakar dalam bidang politik, dsb. Atribut kepakaran itu digunakan awak media untuk memberi pembobotan pada penyiaran berita hasil survei tersebut. Dalam waktu singkat serta secara serempak sosok Jokowi menjadi figur paling populer di panggung politik. Popularitas Jokowi kemudian diperkuat dengan berbagai analisa tambahan dari para pakar melalui talk show. Perbincangan di media itu pun seakan orisional, tanpa pesanan dan rekayasa.
Hampir semuanya menyebut popularitas gubernur Ibukota itu merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Pemilihan kata 'fenomena' pun melalui pemikiran yang dalam. Hasilnya para awak media tidak berpikir lain lagi kecuali semakin bersemangat mengutip pernyataan tentang 'fenomena' tersebut. Dampak dari pemberitaan secara terus menerus tentang Jokowi merembet kemana-mana. Pemberitaan dan pencitraan itu mempengaruhi sistem pengambilan keputusan di berbagai lembaga termasuk lembaga politik. Sejumlah partai politik, terutama yang bukan 'pemilik' Jokowi, terpengaruh oleh pemberitaan media massa. Mereka ikut-ikutan merebut simpatinya. Mereka ingin merekut Jokowi sebagai kader sekaligus pemimpin masa depan. Maka fenomena baru dalam perekrutan calon pemimpin nasional pun mengalami perubahan secara instan. Perekrutan melalui mekanisme yang menghormati azas-azas kepatutan dan kapabilitalas, terpinggirkan. Perekrutan secara instan, mengalahkan hal-hal fundamental. Alhasil dalam waktu singkat, Jokowi tidak hanya menjadi "media darling" tetapi sekaligus menjadi pejabat publik paling populer - dalam konotasi bersih dan kapabel. Namun yang menimbulkan pertanyaan, sebegitu akuratkah hasil survei tentang Jokowi tersebut?
Pertanyaan lain, benarkah para pengelola lembaga survei itu bekerja secara independen? Betulkah mereka tidak disponsori oleh kekuatan lain - khususnya yang berkepentingan menokohkan Jokowi? Tidak gampang menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Demikian pula, terlalu prematur menuding bahwa para pengelola lembaga survei di Indonesia saat ini, tidak lagi bekerja atas azas profesionalisme dan bobot intelektual kuat. Namun jika 'fenomena' yang menggunakan metode instan seperti sekarang tidak dikritisi bahayanya sangat besar. Jika 'fenomena' ini dibiarkan, ke depan atau dalam jangka panjang, 'fenomena' ini mampu menghancurkan demokrasi di Indonesia. Kepada lembaga survei dan media sering berpartner, rasa percaya itu harus tetap kita tancapkan. Tetapi seperti pepatah tua, percaya wajib, tetapi curiga wajar jalan terus. Kita perlu curiga sebab baru dalam Fenomena Jokowi saat ini, sejumlah lembaga survei seakan menafikan unsur komersil dan transasksional. Padahal pekerjaan melakukan survei kepada ratusan atau ribuan responden itu memerlukan biaya tidak kecil.
http://web.inilah..com/read/detail/2...1#.UjogDNLfC0k
source: http://www.thehindu.com/opinion/op-e...cle4860863.ece
Gubernur DKI Jakarta joko Widodo meninjau pembangunan taman di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Jumat (26/7/2013). | Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
India Mencari Sosok Jokowi
Rabu, 31 Juli 2013 | 14:57 WIB
Karakter tokoh utama yang mendominasi panggung politik Indonesia dan India jelang pemilihan umum di dua negara itu tahun depan semuanya sama kecuali satu, yaitu Indonesia punya sosok Joko Widodo atau Jokowi dan India tidak punya. Demikian tulis wartawan dan penulis India, Pallavi Aiyar, dalam kolom opininya di The Hindu, Senin (29/7/2013). Seperti Indonesia, India juga akan mengadakan pemilihan umum tahun depan.
Aiyar menulis, dibanding India, Indonesia merupakan negara demokrasi muda. Demokrasi Indonesia baru 15 tahun usianya terhitung sejak rezim diktator Soeharto tumbang tahun 1998. Walau terbilang muda, demokrasi Indonesia punya kesamaan dengan India dalam hal kekisruhannya dan riak semangatnya. "Kegaduhan, serangkaian demonstrasi politik, serikat buruh yang blak-blakan, dan pers yang tegas merupakan bagian dari lanskap politik di kedua negara," tulisnya. Aiyar memaparkan, kedua negara menghadapi masalah yang kurang lebih sama, yaitu korupsi yang merajalela dan infrastruktur yang buruk, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan.
Sebuah survei tentang pemain utama dalam drama pemilu tahun depan di Indonesia mengungkapkan pola dasar yang akrab bagi orang India. Aiyar lalu menyebut tokoh-tokoh yang muncul dalam panggung politik Indonesia saat ini yang diperkirakan akan maju dalam pemilu tahun depan. Ia melihat sosok dari dinasti politik, orang kuat yang otoriter, pengusaha bermasalah dan sosok garis keras dari kalangan agama. Pola seperti itu, tulisnya, sama dengan yang terjadi di India. Namun, Indonesia punya kartu As yang tak dimiliki India, kata Aiyar, yaitu "politisi pendatang baru berusia 52 tahun bernama Joko Widodo, Gubernur Jakarta yang rendah hati dan sangat populer, yang belum mendeklarasikan pencalonannya, tetapi yang dalam setiap jajak pendapat baru-baru ini telah memperlihatkan bakal menjadi pemenang dalam pemilu tahun depan, jika dia maju dalam pemilihan presiden."
Selanjutnya, Aiyar mengambarkan sosok Jokowi. Dia antara lain menulis bahwa Jokowi merupakan putra tukang kayu yang sukses menjalankan bisnis furnitur sebelum memasuki keriuhan politik tahun 2005 sebagai wali kota Solo. Saat sebagai wali kota, Jokowi dikatakan berhasil mengubah kota yang penuh kejahatan menjadi pusat kawasan untuk seni dan budaya. Jokowi melawan korupsi dan mendapatkan reputasi yang langka untuk kejujuran, bahkan menolak untuk menerima gaji dari negara atas pekerjaannya sebagai wali kota. Dia menerapkan beberapa kebijakan pro-orang miskin, termasuk yang membantu merehabilitasi PKL. Pada 2009, Jokowi terpilih kembali menjadi wali kota Solo dengan raihan suara yang belum ada presedennya, yaitu 90 suara. "Tahun lalu, ia mempersingkat masa jabatan keduanya sebagai wali kota ketika ketua partainya, Megawati, memintanya untuk maju sebagai calon PDI-P dalam pemilihan Gubernur Jakarta. Dia memilih Basuki Tjahja Purnama, seorang Kristen keturunan China, sebagai pasangannya, sebuah langkah yang menggarisbawahi komitmennya untuk visi pluralistik Indonesia," tulis Aiyar. "Tidak mengherankan bahwa Jokowi sering dibandingkan dengan Barack Obama," lanjut Aiyar. Seperti Obama, Jokowi adalah pemimpin karismatik yang menarik pemilih, menjanjikan harapan dan perubahan. "Ia tidak ternoda dosa-dosa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jalannya menuju kesuksesan pemilu tidak melalui jalur biasa untuk kekuasaan politik, yaitu militer, bisnis besar, dinasti yang diwariskan, dan ideologi Islam."
Menurut Aiyar, Jokowi adalah produk dari proses desentralisasi di Indonesia yang telah mengalihkan banyak fungsi pemerintahan ke tingkat kabupaten, dan pemilihan langsung untuk jabatan bupati, wali kota dan gubernur yang telah dilembagakan. Walau proses desentralisasi telah menyebabkan korupsi marak di tingkat lokal, tulis Aiyar, munculnya politisi seperti Jokowi adalah contoh sukses dari desentralisasi. Fakta bahwa seorang calon seperti dia punya kesempatan menjadi presiden merupakan keuntungan bagi Indonesia. Di India, dengan 66 tahun sejarah demokrasinya telah gagal memunculkan calon yang sepadan meskipun pemilih semakin kecewa dengan para politisi tua. Jika Jokowi adalah Obama Indonesia, orang mungkin bertanya, di manakan sosok Jokowi India?" demikian Aiyar menutup opininya.
http://internasional.kompas.com/read...i.Sosok.Jokowi
Sebelumnya, orang Malaysia pun berharap ada Tokoh spt Jokowi di Negerinya ...
source: http://www.freemalaysiatoday.com/cat...aysian-jokowi/
source: http://www.themalaysianinsider.com/r...ik-haris-zuan/
source: http://www.nst.com.my/opinion/column...ation-1.151168
Emangnya apa sih yang menarik dari seorang Jokowi itu?
60% percakapan di media sosial adalah soal Jokowi
Rabu, 25 September 2013 11:31 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menjadi figur politik yang paling santer diperbincangkan di media sosial oleh pengguna Internet di 31 provinsi di Indonesia, demikian hasil riset lembaga penelitian Politicawave. "Segala topik perbincangan di `sosmed` (media sosial) dari politik, bencana, infrastruktur hampir selalu didominasi oleh Jokowi," ujar Direktur Politicawave, Yose Rizal, di Jakarta pada Selasa. Dari data yang dikemukakan Yose, percakapan tentang Joko Widodo mencapai 2.522.643 kali atau sekitar 60 persen dari 3.994.528 total percakapan dengan pengguna media sosial di Indonesia yang mencapai 80 juta orang. Sementara, pengguna aktif yang konsisten membicarakan politik dan nama-nama calon presiden 2014 mencapai 1.156.874 orang, kata Yose.
Yose mengatakan riset yang dilakukan lembaganya mencakup kategori media sosial Twitter, Facebook, blog, Youtube, juga mempertimbangkan perbincangan para kandidat bakal calon presiden dari pemberitaan media online. Dari penelitian Politicawave yang dilakukan selama enam bulan sejak 1 Maret hingga 31 Agustus 2103, figur politik lain yang santer dibicarakan dan mendekati Jokowi adalah Dahlan Iskan (7 persen), Megawati Soekarnoputri (5 persen), Hatta Rajasa (5 persen), Gita Wirjawan (4 persen), Mahfud MD (4 persen), Aburizal Bakrie (3 persen), Wiranto (3 persen), Prabowo Subianto (2 persen), Yusril Ihza Mahendra (2 persen), Anies Baswedan (2 persen), Jusuf Kalla (2 persen), dan Pramono Edhie Wibowo (1 persen).
Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan popularitas Jokowi juga akan menjadi materi analisa tim sukses tokoh politik lain yang ingin berlomba di Pemilu 2014. Dia mengatakan, jika Jokowi muncul sebagai calon presiden pada saat ini, kader PDI-P itu sudah dapat dipastikan akan memenangi pemilu, kata Ade. "Potong leher saya jika Jokowi kalah, jika dia maju saat ini," ujarnya.
http://www.antaranews.com/berita/397...ah-soal-jokowi
--------------------------------------------
Tudingan miring adanya konspirasi media untuk menggoalkan Jokowi sebagai Capres, sepertinya harus disingkirkan, bila melihat fenomena pemberitaan seputar Jokowi kini telah mendunia. Setelah Soekarno, rasa-rasanya hanya pakde Jokowi ini yang banyak diberitakan media internasional, padahal jabatannya masih sebatas Gubernur. Bayangkan kalau dia jadi Presiden seperti Soekarno dulu, lalu "blusukan" di berbagai plosok dunia ini.
Pelajaran menarik dari fenomena Jokowi adalah, bahawa parpol yang menjual tokoh yang tidak disukai rakyat, sulit untuk memenangkan Pemilu dan Pilpres tahun depan itu. Peringatan itu sudah lama disampaikan oleh para tokoh politik dan pakar serta beberapa survei, bahwa orientasi pemilih Indonesia kini beralih ke figur yang baik, jujur, amanah dan mengayomi rakyat, bukan lagi parpol atau nama besar elit yang sedang berkuasa seperti zaman Orde baru dulu!
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/5244ba5aa2cb170b78000005