nah, perayaan Idul Fitri atau yang dikenal juga dengan Lebaran, itu pasti identik dengan cuti bersama dan mudik. Ini ada beberapa hal yang perlu agan-aganwati tau terkait soal cuti saat lebaran dan masalah transportasi yak. cekidot!
1. Upah Lembur, THR, dan Cuti Bersama
Spoiler for Upah Lembur, THR, dan Cuti BersamaUpah kerja lembur di saat Hari Raya Lebaran, yakni hak yang diterima pekerja/buruh yang dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atas suatu pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh di luar jam kerja yang seharusnya, yakni salah satunya di saat hari raya keagamaan.
Hari raya keagaaman, termasuk Hari Raya Lebaran seperti yang Anda tanyakan, merupakan hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Akan tetapi, pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, pengusaha bisa mempekerjakan pekerja/buruh tersebut pada hari libur resmi, termasuk pada hari raya keagamaan.
Lebih lanjut tentang upah lembur pada hari raya lebaran dan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi pengecualian, baca di artikel-artikel berikut ini:
1. Ketentuan Upah Kerja Lembur Pada Hari Lebaran
2. Ketentuan Waktu dan Upah Kerja Lembur di Sektor Tertentu
Tunjangan Hari Raya Keagamaan (âTHRâ), adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.
Berapa sih besarnya THR itu? Dan bagaimana jika pengusaha tidak memberikan THR tidakdibayar penuh?
Untuk tahu tentang THR, baca artikel-artikel berikut ini ya gan:
1. Masalah Besaran THR dan Pemotongan Gaji Karena Cuti Bersama
2. Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh
3. Ketentuan THR Karyawan yang Dipindahkan ke Perusahaan Lain
4. Bolehkah THR Dipotong karena Karyawan Punya Utang di Perusahaan?
5. Apakah Karyawan Baru Berhak Atas THR?
6. Bolehkah THR Dipotong Jika Karyawan Mendapat Surat Peringatan?
7. Acuan Perhitungan Waktu âPHK 30 Hari Sebelum Hari Rayaâ Terkait Pemberian THR
8. Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan
9. Jika Besaran THR yang Diterima Lebih Kecil dari Tahun Lalu
Pada umumnya, pelaksanaan cuti bersama memotong cuti tahunan. Ini bisa dilihat di Poin ke-4 Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012, No. SKB.06/MEN/VII/2012, No. 2 Tahun 2012 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013.
Karena cuti bersama dipotong dari cuti tahunan pekerja, maka pengusaha tidak dapat memotong gaji pekerja terkait dengan cuti bersama. Ini karena berdasarkan Pasal 93 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (âUU Ketenagakerjaanâ), pengusaha wajib membayar upah pekerja saat pekerja melaksanakan hak istirahat. Yang dimaksud dengan hak istirahat adalah waktu istirahat dan cuti sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.
Lebih jelas tentang ketentuan cuti bersama, baca ya artikel-artikel berikut ini:
1. Apakah Berhak Mendapat Upah Lembur Pada Hari Cuti Bersama?
2. Bagaimana Bila Cuti Bersama Tidak Mengurangi Cuti Tahunan?
3. Masalah Besaran THR dan Pemotongan Gaji Karena Cuti Bersama
4. Apakah Cuti Bersama Mengurangi Cuti Tahunan?
2. Hari Kerja Buat Pekerja di Sektor Pertambangan
Spoiler for Hari Kerja Sektor PertambanganKetentuan Waktu Kerja di Hari Lebaran Bagi Pekerja Sektor Pertambangan
Di antara Agan-agan di sini ada yang kerja di sektor pertambangan? Kalau Agan diminta kerja sama atasan saat hari Lebaran, hukumnya gimana ya?
Pada perusahaan-perusahaan di bidang pertambangan umum, termasuk perusahaan jasa penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu, ada 2 (dua) alternatif periode kerja yang dapat dipilih dan diterapkan yakni:
a. menerapkan waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI) pada sektor usaha energi dan sumber daya mineral pada daerah tertentu sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep-234/Men/2003 dengan menerapkan salah satu dan/atau beberapa alternatif waktu kerja sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan dan dengan alternatif pilihan periode kerja 2 (dua) minggu bekerja berturut-turut dan 1 (satu) minggu off (istirahat); atau
b. menerapkan periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja, dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat, dan dengan 1 (satu) hari istirahat setiap 2 (dua) minggu dalam periode kerja.
Para pihak dapat menyepakati/mengatur untuk memilih dan menerapkan periode kerja yang mana. Misalnya yang dipilih para pihak adalah alternatif periode kerja yang ke-dua (huruf b).
Apabila pada waktu kerjanya bersamaan dengan saat Lebaran, tapi karyawan dipekerjakan telah melampaui waktu 10 minggu âonâ atau bahkan mungkin lebih, maka tentunya tidak dapat ditoleransi, sebab itu berarti tidak mengindahkan batasan maksimal undang-undang.
Penjelasan lebih lanjut silakan baca artikel ini ya, Gan:
Ketentuan Waktu Kerja di Hari Lebaran Bagi Pekerja Sektor Pertambangan
3. Gratifikasi dan Parsel Lebaran
Spoiler for Gratifikasi & Parsel LebaranKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya punya tradisi tahunan menjelang hari raya idul fitri nih gan. Yaitu tradisi menyerukan imbauan kepada seluruh pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya karena memiliki risiko sanksi pidana.
Salah satu bentuk gratifikasi yg punya potensi risiko sanksi pidana adalah pemberian parsel kepada pejabat pd saat hari raya keagamaan.
Berdasarkan UU Pemberantasan Korupsi, pemberi dan penerima gratifikasi dapat dijatuhi sanksi pidana jika terbukti bahwa gratifikasi trsebut berhubungan dgn jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Oleh karena itu, bila parsel lebaran berisi makanan yang mudah kadaluarsa dan dalam jumlah wajar, KPK menganjurkan agar dapat disalurkan ke panti asuhan, panti jompo, dan pihak-pihak lain yang lebih membutuhkan. Namun, hal itu harus disertai laporan kepada masing-masing instansi disertai penjelasan taksiran harga dan dokumentasi penyerahannya. Selanjutnya masing-masing instansi melaporkan seluruh rekapitulasi penerimaan tersebut kepada KPK.
Sumber:
1. Ancaman pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi
2. Berlomba-lomba menolak parsel lebaran
4. Bagasi Hilang dan Keterlambatan
Spoiler for Bagasi Hilang & KeterlambatanBagasi Hilang
Selama lebaran gangguan terkait tranportasi sering banget terjadi gan, ada yang bermasalah karena keberangkatan delay hingga kehilangan bagasi. Untuk itu melek hukum kali ini akan membahas sisi hukum dari kejadian-kejadian tersebut ni gan.
Buat agan/aganwati yang mengalami bagasi hilang ada ketentuan internasional yang mengatur hal ini loh yaitu Pasal 22 Konvensi Warsawa 1929 tentang Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International by Air*, tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat dibatasi hanya mencapai 250 francs per kilogram. Namun, bila melihat pada ketentuan hukum nasional yang berlaku di Indonesia, bagi maskapai penerbangan nasional, berikut di bawah ini ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Sebelum masuk ke penjelasan lebih lanjut perlu agan/aganwati ketahui ni, bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada 2 (dua) macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin.
Sebagaimana kita temui dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 25 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (âUU Penerbanganâ) bagasi tercatat dan bagasi kabin dibedakan sebagai berikut:
- Bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.
- Bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (âPermenhub 77/2011â).
Sebagai contoh, menurut Pasal 5 ayat (1) Permenhub 77/2011, jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, ditetapkan sebagai berikut:
a. kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan
b. kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.
Bagasi tercatat baru dianggap hilang, menurut Pasal 5 ayat (2) Permenhub 77/2011, apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.
Sedangkan, bagi penumpang dengan bagasi tercatat yang belum ditemukan namun belum dapat dinyatakan hilang karena belum melewati masa 14 (empat belas) hari, maka pengangkut wajib memberikan uang tunggu sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender (lihat Pasal 5 ayat [3] Permenhub 77/2011).
Akan tetapi, ketentuan-ketentuan Permenhub 77/2011 yang dijelaskan di atas tidak dapat menjadi dasar untuk menyelesaikan masalah Anda dengan pihak pengangkut yang terjadi baru-baru ini. Pasalnya, Permenhub tersebut baru berlaku 3 (tiga) bulan sejak tanggal Permenhub ditetapkan, yaitu 3 (tiga) bulan setelah tanggal 8 Agustus 2011. Demikian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 Permenhub 77/2011.
Oleh karena itu, dalam hal ini kita merujuk pengaturan mengenai ganti kerugian yang diatur secara umum dalam UU Penerbangan.
Untuk bagasi kabin, dalam Pasal 143 UU Penerbangan, ditegaskan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin ini ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang (lihat Pasal 167 UU Penerbangan).
Sedangkan untuk bagasi tercatat, berdasarkan Pasal 144 UU Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 144 bahwa yang dimaksud dengan "dalam pengawasan pengangkut" adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan.
Jadi, jika bagasi agan/aganwati mengalami kerusakan atau kerugian, maka hal tersebut di luar tanggung jawab pengangkut kecuali Anda bisa membuktikan kerugian itu disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
Sedangkan, jika kerugian terjadi pada bagasi tercatat, maka yang berhak Anda dapatkan adalah ganti kerugian yang dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat yang rusak. Atau apabila kerusakannya mengakibatkan seluruh bagasi tidak dapat digunakan lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 168 ayat (2) dan ayat (3) UU Penerbangan.
Selain itu, menurut Pasal 176 UU Penerbangan, penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.
Nah, mengenai keterlambatan atau delay Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (âUU Penerbanganâ) menyebut definisi keterlambatan sebagai: âKeterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.â
Di dalam peberbangan, keterlambatan angkutan udara merupakan salah satu kerugian yang diderita oleh penumpang yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pengangkut (badan usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara) yang mengoperasikan pesawat udara. Demikian ketentuan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (âPermenhub 77/2011â).
Kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan juga disebut dalam Pasal 146 UU Penerbangan yang berbunyi:
âPengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.â
Di dalam Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "faktor cuaca" adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
Adapun, yang dimaksud dengan "teknis operasional" antara lain:
a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, ataukebakaran
c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara atau
d. keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)
Sedangkan, yang tidak termasuk dengan "teknis operasional" antara lain:
a. keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin
b. keterlambatan jasa boga (catering)
c. keterlambatan penanganan di darat
d. menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan
e. ketidaksiapan pesawat udara
Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub 77/2011.
Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai ruang lingkup keterlambatan dalam penerbangan, hal ini disebutkan dalam Pasal 9 Permenhub 77/2011 yang berbunyi:
âKeterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:
a. keterlambatan penerbangan (flight delayed)
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger) dan
c. pembatalan penerbangan (cancelation of flight)â
Lebih lanjut:
Ketentuan Ganti Kerugian Bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat
Ketentuan Ganti Kerugian Jika Bagasi Hilang Atau Rusak
5. Pemberi Diskon Palsu
Spoiler for Pemberi Diskon PalsuMemberikan potongan harga (diskon) untuk menarik minat pembeli merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh penjual terutama menjelang hari raya. Ketentuan terkait cara penjual selaku pelaku usaha melakukan diskon pada barang dagangannya ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1)huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (âUU Perlindungan Konsumenâ) yang berbunyi:
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
Adapun sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana antara lain disebut dalam Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.
Jadi, jika memang penjual menawarkan barang dan/atau jasa dengan memiliki potongan harga namun secara tidak benar (diskon itu tidak benar-benar ada), ia dapat dipidana sesuai UU Perlindungan Konsumen.
Lebih lengkap gan:
Sanksi bagi Pemberi Diskon Palsu
Sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/53da05ac0e8b460d05000016